Oleh Andi
Irawan
Jakarta bagi saya ibarat case yang disediakan Allah untuk menguji entitas anak bangsa ini tentang kualitas peradaban yang kita miliki.
Masalah banjir dan macet adalah masalah rutin
Jakarta, bergilir sudah anak bangsa yang diberi kesempatan untuk memecahkan
masalah ini baik sebagai pengambil kebijakan kunci negara baik sebagai presiden,
gubernur atau kekuatan politik yang diberi kesempatan mengatasi masalah Jakarta,
tapi masalah belum bisa dipecahkan, masalah Jakarta sebagai case Sang
Pencipta belum bisa dipecahkan. Apakah masalah ini terlalu berat -di luar batas
kekuasaan anak bangsa ini- untuk memecahkannya?
Saya sepakat dengan editoriol salah satu media
nasional beberapa hari lalu bukan saatnya bicara tentang cara dan konsep teknis
mengatasi banjir dan macet Jakarta. Karena Ada banyak konsep memecahkan masalah
banjir, ada banyak konsep memecahkan masalah macet. Tetapi masalahnya adalah
kemampuan menjalankan konsep itu yang tidak ada. Political will mungkin
tidak ada. Keinginan memberikan kontribusi bagi kehidupan dan kemanusiaan di
Jakarta itu tidak ada.
Ibarat sebuah sinetron, sinetron Jakarta adalah
sinetron dengan pemain-pemain mulai dari the best staring-nya sampai
pemain figuran semuanya tanpa sadar berlomba menempatkan diri dalam peran
antagonis, yakni peran-peran yang merusak Jakarta sebagai sebuah
peradaban.
Pemain-pemain yang akan mengambil peran dalam
sinetron Jakarta adalah bukan figur A atau Z, bukan si fulan atau
fulanah. Ini bukan masalah personal. Secara personal banyak manusia baik
dan ingin berbuat baik untuk Jakarta. Tatapi mereka tidak akan bisa
berkontribusi karena kekuatan utama adalah pelaku yang kita namakan 'partai
politik'. Dan parpol-parpol kita secara sadar atau tidak telah menenggelamkan
dirinya dalam mekanisme pendukung aktifitas kehidupannya dengan cara yang 'anti
publik'. Inilah sumber awal yang menyebabkan parpol menjadi sulit berkontribusi
kepada kebaikan publik apalagi kebaikan itu bernilai kebaikan peradaban seperti
Jakarta yang bebas macet dan banjir.
Parpol itu butuh dana luar biasa besar untuk
menjalankan fungsi-fungsinya. Dana adalah darah bagi parpol untuk menggerakkan
aktivitasnya. Ketika darah itu didapat dari sumber yang 'anti publik' maka dapat
dipastikan perilaku parpol itu akan menjadi anti publik juga. Aktivitas dan
kebijakan yang pro publik dari parpol yang sedemikian dalam kiprah mereka di
lembaga-lembaga negara dapat dipastikan hanyalah aktivitas pencitraan semata,
paling tinggi ia hanya akan bersifat quasi publik (pro publik yang semu
tidak subtansial dan tidak mendasar). Ketika “darah” itu diperoleh secara anti
publik maka dapat dipastikan maka kinerja dan fungsi-fungsi publik yang
dijalankan juga akan ber-aura bahkan berasa anti publik.
Penggalangan dana dengan cara 'anti publik'
dalam bahasa ekonomi politik dinamakan rent seeking. Penggalangan dana
yang sedemikian dilakukan oleh parpol atau elit parpol dengan jalan memanfaatkan
kekuatan politik, posisi atau pengaruh politik terhadap jabatan-jabatan publik
negara baik di eksekutif, legislatif bahkan yudikatif baik untuk kepentingan
pribadi elit maupun parpolnya.
Anda bayangkan dana triliunan rupiah hancur
menjadi bangunan rongsokan yang siap tumbang karena struktur tanah yang rapuh
dan ancaman gempa dalam kasus pembangunan Mega proyek Hambalang.
Semua solusi untuk Jakarta dari banjir dan
macetnya akan membutuhkan dana besar. Untuk mengatasi banjir saja konon butuh 20
triliun. Semuanya akan menjadi project yang hanya akan mencerminkan
'ketidakberadaban' kita (bukan 'peradaban' kita) karena fenomena hambalang akan
hadir lagi dalam beragam perilaku rent seeking dalam proyek atasi macet
dan banjir Jakarta. Dana triliunan yang ada dari memungut pajak anak bangsa ini
oleh para parpol dijadikan ajang perebutan untuk kepentingan pribadi dan
golongan mereka.
Bagi anda yang mengidolakan Jokowi, okelah
Jokowi bisa jadi seorang yang ingin kebaikan untuk Jakarta tetapi apakah Jokowi
bisa mengalahkan kepentingan parpol pendukungnya dan parpol lain tentang
perebutan rente ekonomi yang begitu dahsyat di Jakarta? Saya termasuk
yang tidak percaya hal itu. []
*Hari Selasa (22/1/2013) ini genap 100 hari
pemerintahan Jakarta dibawah kepemimpinan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI
Jakarta, Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnamawww.islamedia.web.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar