Sabtu, 14 Januari 2012

Cacat Mental Dakwah

Ustadz Tate Qomaruddin

Idealnya, kondisi umat bisa diperbaiki dengan dakwah.
Seperti sering diibaratkan orang, da'i adalah dokter dan umat adalah
pasiennya. Namun apa jadinya sang pasien, jika sang dokter salah dalam
melakukan pengobatan. Alih-alih medapatkan kesembuhan, malah sakit bertambah
parah.

Demikian halnya dalam dunia dakwah. Kesalahan yang dilakukan para da'i
menyebabkan dakwah tidak mencapai tujuannya. Salah satu bentuk kesalahan
tersebut adalah bila di dalam kancah dakwah berkembang penyakit mental. Di
antara penyakit-penyakit mental (ma'nawiyah) dalam dakwah itu adalah:

Pertama, sikap infi'aliyyah (reaksioner).

Sebuah gerakan dakwah bisa dikategorikan reaksioner jika segala gerakannya
tidak berangkat dari tujuan dan sasaran yang jelas; tidak berdasarkan
tahapan-tahapan yang jelas, dan tidak menggariskan langkah-langkah yang
jelas. Sehingga semua manuvernya tidak lebih dari reaksi terhadap kondisi
sesaat yang muncul atau terhadap isu yang dianggap aktual. Dengan kata lain
dakwah yang infi'aliyyah adalah dakwah yang tidak berpijak pada manhaj
(jalan, sistem) yang jelas. Padahal Allah SWT telah menegaskan pentingnya
manhaj yang jelas itu. "Katakanlah inilah jalanku, aku menyeru ke jalan
Allah dengan pandangan yang jelas (bashirah)." (Yusuf 108)

Akibatnya, gerakan dakwah terkesan ngawur alias tak tentu arah. Energi
dakwah terkuras untuk merespon berbagai kasus, peristiwa, perkembangan
politik, atau problem sosial yang fenomenal. Sementara itu, permasalahan
umat yang sesungguhnya terabaikan.

Ini bukan berarti gerakan dakwah tidak perlu merespon permasalahan
fenomenal. Sebab, pada dasarnya gerakan dakwah memang dituntut mampu
merespon bahkan mencari solusi bagi permasalahan yang muncul dalam
kehidupan. Misalnya masalah korupsi, kerusuhan, dan masalah-masalah sosial
lainnya. Akan tetapi dalam kaitan ini, ada beberapa hal yang harus
ditegaskan. Pertama, berdasarkan paradigma Islam, segala problema
kemasyarakatan maupun individual muncul akibat jauhnya manusia dari aqidah
Islam dan syari'at Islam. Kedua, karena itu harus ada gerakan yang integral
dan simultan untuk membenahi aqidah umat dan menumbuhkan keberpihakan
terhadap syari'at Islam.

Harus dipahami, Islamisasi kehidupan bukanlah sekedar membuat umat Islam
melakukan shalat, puasa, haji, wirid, dan ritual lainnya. Sayangnya, justru
corak pemahaman parsial macam itulah yang amat digandrungi oleh para
penjajah dan kaum bermental penjajah dari bangsa sendiri. Sebab Islam dalam
bentuknya yang ritual (sebagian orang menyebutnya agak keren sebagai 'Islam
kultural') itu adalah Islam yang mudah ditaklukan dan dimanfaatkan untuk
kepentingan-kepentingan tertentu. Untuk itulah orang-orang yang bermental
penjajah itu senantiasa memberikan PR-PR kepada umat Islam agar terjebak
dengan isu-isu sesaat. Akibatnya isu-isu abadi berupa pembinaan aqidah dan
pemahaman akan keutuhan Islam tak tersentuh secara memadai.

Kedua, membangun figuritas (wijahiyyah).

Islam mengajarkan ketaatan tapi melarang taqlid buta; memerintahkan
kesetiaan tapi mengharamkan kultus individu; mewajibkan penghormatan
terhadap orang yang layak mendapatkannya namun mencela figuritas.

Telah banyak kericuhan yang terjadi pada umat ini akibat sikap figuritas
ini. Bayangkan, seseorang menolak kebenaran hanya karena kebenaran itu bukan
disampaikan oleh orang yang dia figurkan. Dan menerima segala apa yang
disampaikan oleh orang yang menjadi figurnya, betapa pun nyata-nyata salah
menurut standar Qur'an dan Sunnah.

Figuritas dapat memunculkan tradisi taqlid (sikap membebek). Sikap yang
kemudian berkembang adalah kecintaan kepada tokoh, bukan kepada Islam.
Berjuang karena figur, bukan keikhlasan. Pada waktu bersamaan, pembelaan
terhadap Islam melemah. Hal ini menjelaskan pertanyaan, "Mengapa tokoh yang
jelas salah dan menyimpang dari Islam terus dibela dengan berbagai alasan.
Saat ada ancaman besar terhadap Islam banyak orang tidak bereaksi. Namun,
ketika orang yang diidolakannya mendapatkan kritikan, ia membela
mati-matian?"

Islam memerintahkan agar kita taat kepada Rasulullah saw. Pada waktu
bersamaan Allah juga memerintahkan, agar pengorbanan dan perjungan dilakukan
karena Allah SWT, bukan karena Rasulullah saw. Ini ditegaskan dalam
Al-Quran, "Muhammad itu tiada lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah
berlalu sebelumnya rasul-rasul. Apakah jika ia wafat atau terbunuh kalian
akan berbalik ke belakang (murtad)." (Ali Imaran 144)

Ayat itu pula yang dibacakan Abu Bakar Ash-Shiddiq ketika menghadapi Umar
Bin Khattab yang tidak percaya akan wafatnya Rasulullah SAW sehingga
mengatakan, "Barang siapa yang mengatakan Muhammad telah meninggal akan saya
penggal lehernya." Itu semua menegaskan kepada kita bahwa dalam beramal,
berkorban dan berjuang, hanya Allah yang menjadi tujuan. Jika Allah SWT
mengecam orang yang berjihad dan ber-Islam karena Rasulullah SAW, maka lebih
buruk lagi orang yang berjuang karena manusia biasa. Yang paling buruk
adalah orang yang menggunakan dakwah untuk membangun figuritas diri, bukan
loyalitas kepada kebenaran.

Ketiga, merasa paling hebat (i'tizaziyyah).

Dakwah seharusnya mengarahkan orang pada sikap tawadhu' (rendah hati).
Apabila seorang da'i dari awal merasa paling hebat dan dakwahnya paling
benar, bukan sikap tawadhu' yang akan tumbuh. Boleh jadi yang subur adalah
sikap sombong dan takabbur serta memandang orang lain dan gerakan dakwah
lain tidak ada artinya.

Perasaan selalu nomor satu adalah penyakit yang ditularkan iblis. Iblis
merasa hebat dengan sesuatu yang sebetulnya bukan parameter kehebatan. "Aku
lebih darinya (Adam). Engkau ciptakan aku dari api sedangkan Engkau ciptakan
dia dari tanah," ujar iblis saat Allah berttanya tentang alasannya tidak mau
sujud kepada Adam.

Refleksi i'tizaziyyah dalam dakwah muncul dalam berbagai bentuk. Bentuk yang
sering muncul adalah keengganan menjalin kerja sama dalam proyek dakwah.
Bahkan merasa bisa melakukan da'wah sendiri tanpa bantuan orang lain. Hal
yang juga sering muncul adalah klaim kebenaran mutlak untuk diri dan
kelompok sendiri serta kesalahan mutlak untuk orang lain. Sering kali dalam
bentuk pengkavlingan negeri akhirat. Yang mengikutinya "ditempatkan" di
sorga. Dan yang tidak mendukungnya ia "masukkan" ke neraka. Seolah ia telah
dititipi kunci surga oleh Allah swt.

Keempat, sikap merendahkan dan menafikan orang lain (intiqashiyyah).

Bagaikan dua sisi mata uang, bangga dengan diri sendiri selalu bersanding
dengan sikap merendahkan orang lain. Jika ini yang berkembang ada dua
kemungkinan yang muncul jika melihat keberhasilan orang lain. Pertama,
dengki, dan kedua menafikan keberhasilah itu.

Dengki maupun sikap menutup mata terhadap keberhasilan yang dicapai orang
pada dasarnya sama: tidak mensyukuri karunia Allah, karena karunia itu bukan
turun kepada dirinya. "Katakanlah dengan karunia Allah dan rahmat-Nya,
hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu
adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan." (QS. Yunus: 58)

...

Akankah da'wah seperti itu mampu menyelesaikan berbagai persoalan umat?
Rasanya sulit. Problematika umat dewasa ini amat kompleks. Paling tidak, ada
dua kebutuhan utama sebagai syarat untuk menyelesaikan segala persoalan
umat. Pertama, adanya kerjasama ('amal jama'i) antar da'i dan kelompok
dakwah. Kedua, terciptanya kondisi masyarakat yang mempunyai kesadaran dan
wawasan Islam yang memadai. Wawasan Islam yang dimaksud termasuk pemahaman
secara utuh tentang Islam yang syamil (integral).

Namun, bagaimana mungkin terjalin amal jamai yang harmonis, saling
menguntungkan dan penuh ukhwah jika terdapat i'tizaziyyah dan intiqashiyyah.
Mungkinkah masyarakat akan sampai pada tingkat pemahaman yang baik jika
mereka tidak diajak untuk menyelami keutuhan Islam, akibat terjebak dengan
fenomena dan isu temporer. Masih beruntung kalau dakwah sekedar dianggap
gagal menjalankan misinya. Yang ironis jika dakwah justru dituduh menambah
ruwetnya persoalan. Nah!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar