Kamis, 26 Januari 2012

Berilah hidayah

Saudaraku...
Jangan pernah dalam diri dan benak kita untuk sekali-kali berhenti untuk membuka jalan untuk bisa mendapatkan hidayah ALLAH.
Gelombang permasalahan seseorang bisa saja berlabuh kepada kita, yang terkadang itu tanpa disadari. Tentulah kita bisa menangkap isyarat tersebut, jangan pernah melalaikan orang-orang yang mengungkapkan curahan hati untuk sebuah saluran mengosongkan pikiran dikepala walaupun pada saat itu sedekar melepas beban-beban yang ada.
Dengan sebab kitalah orang tersebut mulai melangkah kepada kebaikan yang sampai akhir hayatnya kebaikan tersebut masih masih tersemat dihati dan senantiasa dilakukan, maka pahala yang kita dapat tiada bandingnya.

Rasulullah bersabda : Demi Allah, engkau menyebabkan seseorang mendapatkan hidayah Allah itu lebih baik dari pada engkau memiliki unta merah ( muttafaq'alaih )


dendy_w

BELAJAR BERSATU

Ketika kekalahan, tragedi, kelaparan, dan pembantaian mendera jasad Islam kita, kita selalu saja menyoal dua hal: konspirasi Barat dan lemahnya persatuan umat Islam. Tangan-tangan syetan Yahudi seakan merambah di balik setiap musibah yang menimpa kita. Dan kita selalu tak sanggup membendung itu, karena persatuan kita lemah. Mari kita menyoal persatuan, sejenak, dari sisi lain. Ada banyak faktor yang dapat mempersatukan kita: aqidah, sejarah dan bahasa. Tapi semua faktor tadi tidak berfungsi efektif menyatukan kita. Sementara itu, ada banyak faktor yang sering mengoyak persatuan kita. Misalnya, kebodohan, ashabiyah, ambisi, dan konspirasi dari pihak luar. Mungkin itu yang sering kita dengar setiap kali menyorot masalah persatuan. Tapi di sisi lain yang sebenarnya mungkin teramat remeh, ingin ditampilkan di sini. Persatuan ternyata merupakan refleksi dari ’suasana jiwa’. Ia bukan sekedar konsensus bersama. Ia, sekali lagi, adalah refleksi dari ’suasana jiwa’. Persatuan hanya bisa tercipta di tengah suasana jiwa tertentu dan tak akan terwujud dalam suasana jiwa yang lain. Suasana jiwa yang memungkinkan terciptanya persatuan, harus ada pada skala individu dan jamaah. Tingkatan ukhuwwah (maratibul ukhuwwah) yang disebut Rasulullah SAW, mulai dari salamatush shadr hingga itsar, semuanya mengacu pada suasana jiwa. Jiwa yang dapat bersatu adalah jiwa yang memiliki watak ’permadani’. Ia dapat diduduki oleh yang kecil dan yang besar, alim dan awam, remaja atau dewasa. Ia adalah jiwa yang besar, yang dapat ’merangkul’ dan ’menerima’ semua jenis watak manusia. Ia adalah jiwa yang digejolaki Jiwa oleh itu keinginan kuat untuk memberi, dari mimpi memperhatikan, buruk merawat, mengembangkan, membahagiakan, dan mencintai. seperti sepenuhnya terbebas ’kemahahebatan’, ’kamahatahuan’, ’keserbabisaan’. Ia juga terbebas dari ketidakmampuan untuk menghargai, menilai, dan mengetahui segi-segi positif dari karya dan kepribadian orang lain. Jiwa seperti itu sepenuhnya merdeka dari ’narsisme’ individu atau kelompok. Maksudnya bahwa ia tidak mengukur kebaikan orang lain dari kadar manfaat yang ia peroleh dari orang itu. Tapi ia lebih melihat manfaat apa yang dapat ia berikan kepada orang tersebut. Ia juga tidak mengukur kebenaran atau keberhasilan seseorang atau kelompok berdasarkan apa yang ia ’inginkan’ dari orang atau kelompok tersebut. Salah satu kehebatan tarbiyah Rasulullah SAW, bahwa beliau berhasil melahirkan dan mengumpulkan manusia-manusia ’besar’ tanpa satupun di antara mereka yang merasa


’terkalahkan’ oleh yang lain. Setiap mereka tidak berpikir bagaimana menjadi ’lebih besar’ dari yang lain, lebih dari mereka berpikir bagaimana mengoptimalisasikan seluruh potensi yang ada pada dirinya dan mengadopsi sebanyak mungkin ’keistimewaan’ yang ada pada diri orang lain. Umar bin Khattab, mungkin merupakan contoh dari sahabat Rasulullah SAW yang dapat memadukan hampir semua prestasi puncak dalam bidang ruhiyah, jihad, qiyadah, akhlak, dan lainnya. Tapi semua kehebatan itu sama sekali tidak ’menghalangi’ beliau untuk berambisi menjadi ’sehelai rambut dalam dada Abu Bakar’. Sebuah wujud keterlepasan penuh dari mimpi buruk ’kemahahebatan’. (Arsitek Peradaban, Anis Matta)

Sabtu, 14 Januari 2012

Memperbaharui Komitmen Dakwah

Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu
mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? (Qs;As shaff/61 Ayat 2 )


Dalam buku Tersebut dijelaskan bahwa sasaran utama dalam DAKWAH adalah ;
1. Diri Sendiri
2. Keluarga dan
3. Masyarakat



Imam Asy Syahid Hasan Al Banna, menjelaskan ; Apabila seseorang menginginkan kehidupannya lebih baik maka masuklah dalam dunia dakwah yaitu TARBIYAH, dengan mengikuti semua peraturan yang ada, tanpa ada kekecewaan.
Kemudian beliau juga menanamkan pada pribadi dakwah adalah Salimul Aqidah sebagai Pondasi itu sendiri ia mampu memperbaiki diri sendiri menjadi orang yang kuat fisiknya, Kokoh akhlaknya, Luas wawasannya, Mampu mencari penghasilan, Lurus aqidahnya, pejuang bagi diri sendiri, Penuh perhatian akan waktunya, dan bermanfaat bagi orang lain.

Dengan terbentuknya pribadi seperti yang disebutkan diatas, maka terwujudlah rumah tangga muslim dan keluarga muslim yang berkomitmen, karena rumah tangga merupakan batu bata utama untuk terwujudnya sasaran yang lebih besar yaitu terbentuknya masyarakat muslim yang kuat, saling mencintai, saling mengutamakan yang kuat membantu yang lemah dan yang mampu membantu yang membutuhkan, semua itu akan terwujud dengan amar ma’ruf nahi mungkar.

Bagi siapa saja yang masuk dalam dunia da’wah ( tarbiyah ), dia harus siap dengan komitmen yang ada, kalau tidak, jangan engkau menyebut dirimu seorang yang tarbiyah. Allah akan melaknatimu ! Na’uzibillah !
Bagi seorang yang tertarbiyah selain adanya perubahan-perubahan dari dia mendapatkan teori sampai dia mempraktekkan dalam kehidupan sehari-hari.

Demi berkibarnya panji Islam di muka bumi, bagi diri yang merasa tertarbiyah, maka pastilah dia memiliki tabiat atau sifat-sifat yang mendiami pada diri mereka seperti ;

1. Iman yang mendalam
2. Kemauan yang kuat
3. Kesungguhan dan semangat yang tinggi
4. Menjadi teladan bagi orang lain
5. Lemah lembut
6. Menjaga rahasia
7. Kesetian
8. Perngorbanan
9. Perhatian terhadap waktu
10. Tertib dalam segala urusan

Da’wah menyeru kepada manusia agar memperbaiki diri mereka, memperhatikan rumahnya agar menjadi rumah yang muslim, diisi dengan qiratul Qur’an, qiyamullail, menunaikan sholat saat azan dikumandangkan, melakukan wirid setiap hari, menjaga waktunya agar tak terbuang sia-sia, berlaku adil dalam menetapkan hukum yang benar, memiliki hati yang lembut, pemaaf dan santun terhadap orang lain, menghindari riba, memiliki sifat hemat, menghidupkan budaya Islam dan selalu merasa diawasi Allah SWT.
Bukan sebaliknya, yaitu hanya menyuruh orang lain, sementara untuk dirinya lupa dan menunda-nunda….! Pahamilah ..


Diantara tugas-tuga da’wah yang tidak boleh diabaikan antara lain ;


1. Sang tarbiyah menjadi pro aktif dalam da’wah
- Rasul adalah teladan kita
- Jadilah keluarga yasin

2. Sang tarbiyah siap menunaikan kewajiban infaq dalam da’wah
- Aktifitis da’wah harus darmawan

3. Sang tarbiyah komitmen dengan pilihan jama’ah dalam masalah fiqih

4. Sang tarbiyah komitmen melaksanakan perangkat-perangkat tarbiyah yang ditentukan jama’ah


5. Sang tarbiyah tsiqoh terhadap pimpinan dan menghormatinya dalam tindakan dan keputusan
- Saling membei nasihat

6. Mengikuti semua kegiatan umum da’wah
7. Mengikuti berita tentang da’wah diluar dan di dalam negeri


Dalam perjalan da’wah banyak sekali halangan-halangan dan cobaan-coban yang menghadang. Namun yang harus dihindari adalah sebagai berikut ;

1. Timbulnya perselisihan dan perpecahan
2. Munculnya kelompok pengacau
3. Bersih keras dengan pendapat sendiri
4. Mengutamakan kepentingan pribadi
5. Tidak menghadiri pertemuan rutin, kecuali dengan syarat-syarat uzur yang dapat diterima
6. Berambisi jadi pimpinan dan terlalu percaya diri
7. Tidak memiliki visi yang jelas
“ Hidup mulia atau mati syahid “ kalimat itulah yang harus ditanamkan dalam diri pribadi muslim.


Untuk mencapai satu tujuan mulia para aktifis harus memiliki sifat dan ciri-ciri yang melekat pada diri mereka.
Adapun ciri-cirinya sebagai berikut ;

1. Aktifis harus berpandangan positif
2. Aktifis harus memiliki kemauan yang kuat
3. Aktifis harus Dermawan
4. Aktifis harus siap berkorban
5. Aktifis harus memiliki semangat yang tinggi
6. Aktifis harus Bijaksana
7. Aktifis harus menjadi teladan bagi orang lain
8. Aktifis harus berjiwa sosial
9. Aktifis harus mampu mengkoordinasikan semua potensi
10. Aktifis harus mengutamakan kerja


Kewajiban bagi yang menyakini da’wah adalah ;
# Ia harus menyucikan jiwanya, meluruskan tingkah lakunya, mempersiapkan akal, jiwa dan raganya untuk jihad dan perjalanan panjang di masa yang akan datang

# Ia di tuntut untuk menyebarkan ruh ( semangat ) ini kepada keluarga, kerabat, temen sejawat dan masyarakat

# Ia siap menerapkan hukum dan akhlak Islam pada dirinya serta menjaga batas-batas dan perintah dan larangan Allah dan Rasulnya

Mereka adalah aktifis da’wah, artinya mereka tidak keluar dari sarana yang harus ditempuh dan dilaksanakan yaitu ;
1. Iman yang mendalam
2. Pembentukan yang solid
3. Aktifitas yang berkesinambungan


* Diringkas oleh dendy: Judul Buku Memperbaharui Komitmen dakwah ( Muhammad Abduh )

Cacat Mental Dakwah

Ustadz Tate Qomaruddin

Idealnya, kondisi umat bisa diperbaiki dengan dakwah.
Seperti sering diibaratkan orang, da'i adalah dokter dan umat adalah
pasiennya. Namun apa jadinya sang pasien, jika sang dokter salah dalam
melakukan pengobatan. Alih-alih medapatkan kesembuhan, malah sakit bertambah
parah.

Demikian halnya dalam dunia dakwah. Kesalahan yang dilakukan para da'i
menyebabkan dakwah tidak mencapai tujuannya. Salah satu bentuk kesalahan
tersebut adalah bila di dalam kancah dakwah berkembang penyakit mental. Di
antara penyakit-penyakit mental (ma'nawiyah) dalam dakwah itu adalah:

Pertama, sikap infi'aliyyah (reaksioner).

Sebuah gerakan dakwah bisa dikategorikan reaksioner jika segala gerakannya
tidak berangkat dari tujuan dan sasaran yang jelas; tidak berdasarkan
tahapan-tahapan yang jelas, dan tidak menggariskan langkah-langkah yang
jelas. Sehingga semua manuvernya tidak lebih dari reaksi terhadap kondisi
sesaat yang muncul atau terhadap isu yang dianggap aktual. Dengan kata lain
dakwah yang infi'aliyyah adalah dakwah yang tidak berpijak pada manhaj
(jalan, sistem) yang jelas. Padahal Allah SWT telah menegaskan pentingnya
manhaj yang jelas itu. "Katakanlah inilah jalanku, aku menyeru ke jalan
Allah dengan pandangan yang jelas (bashirah)." (Yusuf 108)

Akibatnya, gerakan dakwah terkesan ngawur alias tak tentu arah. Energi
dakwah terkuras untuk merespon berbagai kasus, peristiwa, perkembangan
politik, atau problem sosial yang fenomenal. Sementara itu, permasalahan
umat yang sesungguhnya terabaikan.

Ini bukan berarti gerakan dakwah tidak perlu merespon permasalahan
fenomenal. Sebab, pada dasarnya gerakan dakwah memang dituntut mampu
merespon bahkan mencari solusi bagi permasalahan yang muncul dalam
kehidupan. Misalnya masalah korupsi, kerusuhan, dan masalah-masalah sosial
lainnya. Akan tetapi dalam kaitan ini, ada beberapa hal yang harus
ditegaskan. Pertama, berdasarkan paradigma Islam, segala problema
kemasyarakatan maupun individual muncul akibat jauhnya manusia dari aqidah
Islam dan syari'at Islam. Kedua, karena itu harus ada gerakan yang integral
dan simultan untuk membenahi aqidah umat dan menumbuhkan keberpihakan
terhadap syari'at Islam.

Harus dipahami, Islamisasi kehidupan bukanlah sekedar membuat umat Islam
melakukan shalat, puasa, haji, wirid, dan ritual lainnya. Sayangnya, justru
corak pemahaman parsial macam itulah yang amat digandrungi oleh para
penjajah dan kaum bermental penjajah dari bangsa sendiri. Sebab Islam dalam
bentuknya yang ritual (sebagian orang menyebutnya agak keren sebagai 'Islam
kultural') itu adalah Islam yang mudah ditaklukan dan dimanfaatkan untuk
kepentingan-kepentingan tertentu. Untuk itulah orang-orang yang bermental
penjajah itu senantiasa memberikan PR-PR kepada umat Islam agar terjebak
dengan isu-isu sesaat. Akibatnya isu-isu abadi berupa pembinaan aqidah dan
pemahaman akan keutuhan Islam tak tersentuh secara memadai.

Kedua, membangun figuritas (wijahiyyah).

Islam mengajarkan ketaatan tapi melarang taqlid buta; memerintahkan
kesetiaan tapi mengharamkan kultus individu; mewajibkan penghormatan
terhadap orang yang layak mendapatkannya namun mencela figuritas.

Telah banyak kericuhan yang terjadi pada umat ini akibat sikap figuritas
ini. Bayangkan, seseorang menolak kebenaran hanya karena kebenaran itu bukan
disampaikan oleh orang yang dia figurkan. Dan menerima segala apa yang
disampaikan oleh orang yang menjadi figurnya, betapa pun nyata-nyata salah
menurut standar Qur'an dan Sunnah.

Figuritas dapat memunculkan tradisi taqlid (sikap membebek). Sikap yang
kemudian berkembang adalah kecintaan kepada tokoh, bukan kepada Islam.
Berjuang karena figur, bukan keikhlasan. Pada waktu bersamaan, pembelaan
terhadap Islam melemah. Hal ini menjelaskan pertanyaan, "Mengapa tokoh yang
jelas salah dan menyimpang dari Islam terus dibela dengan berbagai alasan.
Saat ada ancaman besar terhadap Islam banyak orang tidak bereaksi. Namun,
ketika orang yang diidolakannya mendapatkan kritikan, ia membela
mati-matian?"

Islam memerintahkan agar kita taat kepada Rasulullah saw. Pada waktu
bersamaan Allah juga memerintahkan, agar pengorbanan dan perjungan dilakukan
karena Allah SWT, bukan karena Rasulullah saw. Ini ditegaskan dalam
Al-Quran, "Muhammad itu tiada lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah
berlalu sebelumnya rasul-rasul. Apakah jika ia wafat atau terbunuh kalian
akan berbalik ke belakang (murtad)." (Ali Imaran 144)

Ayat itu pula yang dibacakan Abu Bakar Ash-Shiddiq ketika menghadapi Umar
Bin Khattab yang tidak percaya akan wafatnya Rasulullah SAW sehingga
mengatakan, "Barang siapa yang mengatakan Muhammad telah meninggal akan saya
penggal lehernya." Itu semua menegaskan kepada kita bahwa dalam beramal,
berkorban dan berjuang, hanya Allah yang menjadi tujuan. Jika Allah SWT
mengecam orang yang berjihad dan ber-Islam karena Rasulullah SAW, maka lebih
buruk lagi orang yang berjuang karena manusia biasa. Yang paling buruk
adalah orang yang menggunakan dakwah untuk membangun figuritas diri, bukan
loyalitas kepada kebenaran.

Ketiga, merasa paling hebat (i'tizaziyyah).

Dakwah seharusnya mengarahkan orang pada sikap tawadhu' (rendah hati).
Apabila seorang da'i dari awal merasa paling hebat dan dakwahnya paling
benar, bukan sikap tawadhu' yang akan tumbuh. Boleh jadi yang subur adalah
sikap sombong dan takabbur serta memandang orang lain dan gerakan dakwah
lain tidak ada artinya.

Perasaan selalu nomor satu adalah penyakit yang ditularkan iblis. Iblis
merasa hebat dengan sesuatu yang sebetulnya bukan parameter kehebatan. "Aku
lebih darinya (Adam). Engkau ciptakan aku dari api sedangkan Engkau ciptakan
dia dari tanah," ujar iblis saat Allah berttanya tentang alasannya tidak mau
sujud kepada Adam.

Refleksi i'tizaziyyah dalam dakwah muncul dalam berbagai bentuk. Bentuk yang
sering muncul adalah keengganan menjalin kerja sama dalam proyek dakwah.
Bahkan merasa bisa melakukan da'wah sendiri tanpa bantuan orang lain. Hal
yang juga sering muncul adalah klaim kebenaran mutlak untuk diri dan
kelompok sendiri serta kesalahan mutlak untuk orang lain. Sering kali dalam
bentuk pengkavlingan negeri akhirat. Yang mengikutinya "ditempatkan" di
sorga. Dan yang tidak mendukungnya ia "masukkan" ke neraka. Seolah ia telah
dititipi kunci surga oleh Allah swt.

Keempat, sikap merendahkan dan menafikan orang lain (intiqashiyyah).

Bagaikan dua sisi mata uang, bangga dengan diri sendiri selalu bersanding
dengan sikap merendahkan orang lain. Jika ini yang berkembang ada dua
kemungkinan yang muncul jika melihat keberhasilan orang lain. Pertama,
dengki, dan kedua menafikan keberhasilah itu.

Dengki maupun sikap menutup mata terhadap keberhasilan yang dicapai orang
pada dasarnya sama: tidak mensyukuri karunia Allah, karena karunia itu bukan
turun kepada dirinya. "Katakanlah dengan karunia Allah dan rahmat-Nya,
hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu
adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan." (QS. Yunus: 58)

...

Akankah da'wah seperti itu mampu menyelesaikan berbagai persoalan umat?
Rasanya sulit. Problematika umat dewasa ini amat kompleks. Paling tidak, ada
dua kebutuhan utama sebagai syarat untuk menyelesaikan segala persoalan
umat. Pertama, adanya kerjasama ('amal jama'i) antar da'i dan kelompok
dakwah. Kedua, terciptanya kondisi masyarakat yang mempunyai kesadaran dan
wawasan Islam yang memadai. Wawasan Islam yang dimaksud termasuk pemahaman
secara utuh tentang Islam yang syamil (integral).

Namun, bagaimana mungkin terjalin amal jamai yang harmonis, saling
menguntungkan dan penuh ukhwah jika terdapat i'tizaziyyah dan intiqashiyyah.
Mungkinkah masyarakat akan sampai pada tingkat pemahaman yang baik jika
mereka tidak diajak untuk menyelami keutuhan Islam, akibat terjebak dengan
fenomena dan isu temporer. Masih beruntung kalau dakwah sekedar dianggap
gagal menjalankan misinya. Yang ironis jika dakwah justru dituduh menambah
ruwetnya persoalan. Nah!

Senin, 09 Januari 2012

Perangkat Nilai “Mesin” Dakwah

Oleh : Cahyadi Takariawan


Bekerja di ladang dakwah telah memberikan banyak hikmah dan pelajaran kepada kita semua. Semakin hari semestinya kita menjadi semakin dewasa, karena dimatangkan oleh peristiwa demi peristiwa, oleh benturan, oleh gesekan, oleh program yang berkesinambungan.

Ketika dakwah mampu menghimpun para aktivis dalam sebuah tatanan, sesungguhnya pada dirinya terkandung dua sisi sekaligus. Pertama sisi potensi yang melimpah ruah, oleh karena dakwah akan dikuatkan oleh berbagai potensi yang dibawa oleh setiap aktivis. Namun pada sisi lainnya, terdapat pula peluang terjadinya gesekan tingkat tinggi, karena semua orang memiliki kemampuan yang setara untuk memimpin dan menempati posisi strategis.

Misalnya saat menentukan kepemimpinan lembaga dakwah, semua aktivis pada hakikatnya memiliki kemampuan, kapasitas, dan kapabilitas yang setara. Artinya, semua aktivis memiliki peluang yang sama dalam menempati posisi tersebut. Demikian pula saat menentukan personal untuk menempati pos-pos strategis dalam dakwah, baik di dalam lembaga maupun di luar lembaga, semua aktivis relatif memiliki kapasitas yang setara untuk mendudukinya.
Para pemimpin sering kesulitan saat harus memilih personal, bukan karena tidak ada potensi, namun justru karena semua aktivis memiliki potensi. Sementara pos-pos strategis baik internal maupun eksternal jumlahnya cukup terbatas, yang tentu saja tidak mungkin mampu mewadahi semua aktivis. Mau tidak mau, suka tidak suka, harus memilih. Bagi yang tidak terpilih, bukan berarti “tidak potensial” atau “tidak terpakai”, sesungguhnyalah semua ingin dipilih, namun pos yang ada sangat terbatas.

Gesekan Adalah Keniscayaan

Setiap titik interaksi kita, selalu menimbulkan gesekan. Walaupun interaksi itu seluruhnya dalam kebaikan, tidak ada satupun yang bernilai kejahatan. Namun selalu menimbulkan gesekan. Justru karena saling bergesekan antara satu komponen dengan komponen lainnya itulah yang menyebabkan mesin menjadi berfungsi dan bisa menggerakkan roda mobil.

Gesekan itu kadang terasa menyakitkan, justru karena kita semua menginginkan kebaikan. Sejak awal kita “menjadi mesin” yang menggerakkan roda perjalanan dakwah, sepenuhnya telah sadar, bahwa apapun akan kita tempuh untuk mencapai tujuan mulia. Kita menyadari ada bahaya dan hambatan dari luar, namun amat banyak pula yang berasal dari dalam.

Manajemen apapun tidak akan bisa menghindarkan kita dari saling bergesekan, karena sebagai mesin kita semua harus bergerak. Satu komponen berpengaruh dan terhubung dengan komponen lain, saling berinteraksi secara positif, sehingga bergeraklah roda dakwah. Namun sepanjang perjalanan, mesin tentu mengalami pemanasan, dan semakin kencang laju mobil dakwah, semakin kuat pula gesekan antar komponen.

Manajemen yang diperlukan bukanlah menghindarkan gesekan antar komponen, namun manajemen untuk melicinkannya, agar gesekan yang terjadi sebagai sebuah keharusan tidak saling menyakiti dan tidak saling melukai. Semua komponen diperlkukan, walau hanya mur dan baut, walau hanya karet penghubung, namun seluruhnya menjadi satu kesatuan untuk berfungsinya mesin dengan baik.

Pada banyak kalangan partai politik, gesekan bisa sedemikian keras dan kasar. Dampaknya, sebagian pihak terlempar, sebagian terjatuh, sebagian terbuang, sebagian tersingkirkan, dan sebagian lainnya berkuasa. Mereka tidak tahan terhadap gesekan, karena memiliki watak ingin menguasai. Semua komponen ingin mengalahkan dan menjatuhkan yang lainnya, dalam sebuah rivalitas yang amat keras.



Bersyukur, dalam dakwah telah disiapkan perangkat yang memungkinkan semua komponen siap untuk bekerja dengan optimal. Perangkat paling utama bernama kepahaman. Dengan perangkat ini semua komponen mengerti berbagai tuntutan perjalanan dakwah sehingga mampu menyiapkan diri dan menyesuaikan diri dengan tuntutan tersebut.

Perangkat kedua adalah keikhlasan. Dengan landasan keikhlasan, berbagai gesekan tidak sampai menimbulkan korban yang berjatuhan. Bukankah kita semua bekerja untuk mencari ridha Allah dan bukan mencari jabatan, kemuliaan, popularitas, kedudukan dan lain sebagainya.

Perangkat ketiga adalah amal yang berkesinambungan. Bekerja dalam dakwah memerlukan kontinuitas amal, sehingga menuntut bekerjanya semua komponen mesin dakwah setiap saat. Dakwah tidak akan berhenti hanya oleh karena ketakutan terkena dampak gesekan.

Perangkat keempat adalah kesungguhan atau jihad. Semua komponen dituntut untuk melaksanakan kegiatan dan agenda dakwah sepenuh kesungguhan. Termasuk bersungguh-sungguh menyiapkan jiwa agar memiliki daya tahah prima di medan dakwah yang penuh tantangan.

Perangkat kelima adalah pengorbanan. Dakwah tidak akan bisa berjalan tanpa didukung pengorbanan. Semua komponen siap memberikan pengorbanan terbaik demi tercapainya tujuan-tujuan dakwah. Termasuk mengorbankan “gengsi” diri, dalam rangka mencapai tujuan dakwah.

Perangkat keenam adalah ketaatan. Semua pihak dalam tatanan dakwah harus memiliki ketaatan terhadap rujukan utama dari Allah dan Rasul-Nya. Dalam tataran praktis, dituntut pula memiliki ketaatan terhadap manhaj dakwah, serta keputusan lembaga dan para pimpinan, walaupun di antara isi keputusan tersebut ada yang tidak sesuai dengan pendapat pribadinya.

Perangkat ketujuh adalah keteguhan. Seluruh aktivis dakwah harus memiliki keteguhan dan ketegaran dalam menapaki jalan dakwah. Sangat banyak cobaan dan hambatan di sepanjang perjalanan dakwah, hanya aktivis yang memiliki keteguhan hati, ketegaran jiwa, kekokohan sikap, yang akan mampu melewatinya.

Perangkat kedelapan adalah kemurnian. Dakwah menuntut kemurnian hati, pemikiran dan aktivitas. Dakwah menghajatkan kemurnian orientasi, niat dan tujuan, agar terbebaskan dari penyimpangan tujuan yang sangat membahayakan.

Perangkat kesembilan adalah persaudaraan. Kita semua diikat dalam sebuah tali persaudaraan yang kuat. Setiap kita lebih mengutamakan saudaranya daripada diri sendiri. Kita bahagia jika mampu membahagiakan saudaranya. Semua kita menjadi bersedih jika membuat saudaranya berduka. Kebersamaan adalah kunci kemenangan dakwah.

Perangkat kesepuluh adalah kepercayaan. Ikatan dalam dakwah bukanlah materi, bukan jabatan, bukan kedudukan duniawi, namun ikatan visi, ikatan tujuan, ikatan iman, ikatan manhaj. Oleh karena itu sangat diperlukan saling kepercayaan antara satu bagian dengan bagian lainnya, antara pimpinan dengan anggota, dan antara sesama aktivis dakwah.

Saya selalu merangkai sepuluh perangkat tersebut dalam satu kesatuan. Saya selalu melihat kesepuluh perangkat itu adalah mutiara berkilauan. Sebelum berbicara manajemen praktis, kita terlebih dahulu diikat oleh sepuluh perangkat nilai, yang menyebabkan kita mampu melewati semua mihwar, semua tahapan, semua fase dalam dakwah, kendati sangat banyak gesekan dalam menjalankan kegiatan